Jumat, 10 Juli 2009

MENATA PERILAKU TERHADAP PENYANDANG CACATT

Oleh: Sujono Sa'id

Kita tahu bahwa penyandang cacat juga adalah makhluk Allah yang tidak jauh berbeda dengan manusia pada umumnya, yang membedakan hanyalah kondisi fisiknya namun mereka tetap harus memperoleh perlakuan yang baik dari berbagai kalangan mulai dari keluarga mereka, masyarakat, sampai dengan penentu kebijakan.

Saya(penulis) tertarik untuk membuat tulisan ini, karena saya telah memiliki pengalaman sejak kecil tentang bagai mana perilaku masyarakat, dan keluarga serta penentu kebijakan dalam menata perilaku mereka terhadap para penyandang cacat entah itu adalah tunanetra, tunarungu, tuna grahita, tuna daksa, dan autis. Perilaku dari komponen-komponen yang telah saya sebutkan diatas dipengaruhi oleh beberapa factor.

Faktor yang memicu terjadinya perlakuan positif dan negative bagi penyandang cacat adalah Budaya, intelegensi, pola fakir, ketidak pahaman akan karakter, dan ketidak tahuan tentang bagaimana seharusnya menata perilaku terhadap kaum penyandang cacat.

Dimulai dari budaya, budaya utamanya budaya tradisional dan masih jauh dari konsep religi dan cara berfikir yang digunakan oleh masyarakat adalah cara fakir yang irrasional atau mistik seperti banyaknya masyarakat yang mempercayai mitos, menyebabkan masyarakat memperlakukan penyandang cacat secara tidak wajar seperti dijauhi karena mereka menganggap bahwa penyandang cacat atau dalam istilah modern dikenal dengan penyandang ketunaan akan menghalangi rezeki mereka.

Faktor intelegensi, juga merupakan salah satu factor yang mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap para penyandang cacat apakah perilaku positif maupun perilaku negative tergantung tingkatan intelegensinya. Ketika tingkatan intelegensi masyarakat tinggi atau dikenal dengan istilah hight intelegens akan mempengaruhi factor perilaku positif terhadap kaum penyandang cacat, tetapi kalau masyarakat memiliki intelegensi yang rendah, maka tentu akan memperlakukan penyandang cacat dengan perlakuan yang tidak semestinya diberikan. Faktor intelegensi akan saya deskripsikan berikut ini.

Ketika seseorang memiliki wawasan tentang dunia social, memiliki wawasan keagamaan, mampu untuk berfikir maju, memiliki wawasan yang luas khususnya tentang kemasyarakatan, serta sudah mengetahui bagaimana berperilaku yang baik terhadap penyandang cacat tentu akan memberikan perilaku positif kepada penyandang cacat seperti mengajak mereka untuk melakukan interaksi dengan keluarganya, serta menjadikan penyandang cacat sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang sama dengan mereka, dan tidak ofer protektif terhadap penyandang cacat karena dengan alas an tidak tega, karena mereka tahu bahwa penyandang cacat juga mau berkembang.

Jika seseorang memiliki intelegensi yang sangat minim seperti kekurangan wawasan keagamaan, wawasan tentang dunia social, dan wawasan lain, tentu orang-orang seperti mereka inilah yang tidak menghargai perbedaan diantara mereka maka secara otomatis mereka juga akan memberikan perilaku yang negative terhadap kaum penyandang cacat contohnya bagi kaum penyandang cacat secara umum mereka tidak akan biarkan untuk keluar rumah, kemudian mereka tidak tahu kalau saja mereka adalah penyedia lapangan kerja mereka berfikir bahwa penyandang cacat tidak akan mampu untuk terjun di dunia kerja disebabkan karena mereka berpendapat tidak mungkin.

Mengapa mereka katakan tidak mungkin?, karena mereka tidak tahu kalau penyandang cacat juga mampu bekerja sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing contohnya bagi tunarungu keterampilan yang mereka mampu lakukan adalah skil dalam hal menjahit maka tentu saja mereka akan bekerja di tukang jahit. Mereka juga mampu untuk menjadi pegawai salon, dan menjadi bisnisment dan pengusaha.

Kaum Tuna daksa juga dapat menjadi Montir, pegawai negeri, transleter, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan tunanetra juga dapat menjadi operator telephon, dan juru ketik, serta terjun di dunia jurnalistik dan administrasi perkantoran.

Pola fakir, sangat erat korelasinya dengan intelegensi, dan budaya tetapi untuk pola fakir ini sangat dominant memiliki korelasi yang erat dengan tinggi rendahnya intelegensi yang dimiliki oleh seseorang, serta juga di dasari oleh kemauan mereka untuk memberikan perlakuan yang layak terhadap kaum penyandang cacat.

Dari pola fakir inipula, seseorang atau sekelompok masyarakat atau keluarga akan memiliki pemahaman akan karakteristik dari kaum penyandang cacat, dan dari sanalah mereka akan mengetahui bagai mana cara mereka memperlakukan kaum penyandang cacat. Bagi masyarakat yang memiliki hight intelegens, tentu akan membuat prinsip bahwa penyandang cacat tidak butuh di kasihani tetapi butuh di perhatikan.

Tetapi bagi mereka-mereka yang memiliki intelegensi yang rendah, tentu akan membuat sebuah prinsip bahwa penyandang cacat adalah orang yang tidak berdaya, butuh uluran tangan, dan harus diberikan perlakuan yang khusus atau exklusif. Saya(penulis) sadar, bahwa tingginya intelegensi masyarakat, bukanlah jaminan bahwa mereka akan memberikan perilaku yang positif terhadap penyandang cacat, banyak sekali masyarakat yang memiliki intelegensi yang tinggi tetapi tidak memberikan perilaku yang baik terhadap penyandang cacat, karena mungkin mereka memiliki intelegensi yang tinggi hanya tentang ilmu duniawi tidak didukung dengan ilmu ukhrawi sebagai tambahan wawasan mereka, sebab dengan adanya ilmu ukhrawi sebagai tambahan wawasan mereka, maka mereka akan lebih menghargai perbedaan diantara mereka.

Sebagai penyandang cacat, saya(penulis) dan teman-teman saya(penulis) tidak berpangku tangan ketika kami melihat hal-hal yang seperti ini, tetapi kami selaku penyandang cacat juga melakukan banyak usaha salah satunya adalah berusaha untuk menjadi manusia yang produktif serta melakukan berbagai inofasi-inofasi yang dapat kami lakukan, dan di Sulawesi Selatan sekarang kasus-kasus seperti ini telah terkikis.

Semua ini dikarenakan oleh pertolongan Allah melalui salah seorang inofator penyandang cacat dari Sulawesi Selatan yaitu Doktor Syaharuddin Daming SH.MH sebagai inofator, ditambah lagi dengan kegigihan teman-teman penyandang cacat, dan dari usaha tersebut, maka lahirlah UU no 4 tahun 1997 tentang perlindungan, hak dan perlakuan masyarakat terhadap kaum penyandang cacat sebagai rambu kolektif.

Perilaku seperti yang telah saya uraikan diatas, juga sudah mulai berangsur hilang di Sulawesi selatan seiring dengan waktu dan arah yang di sertai pula dengan era globalisasi serta kegigihan teman-teman penyandang cacat sendiri untuk memperjuangkan diri dalam rangka memperoleh perlakuan yang layak.

Sekarang ini, yang menjadi masalah bagi penyandang cacat Indonesia adalah lingkungan yang belum memiliki fasilitas umum yang aksesible bagi penyandang cacat, padahal kita selaku penyandang cacat ingin melakukan aktifitas kita secara mandiri untuk melakukan kewajiban kita sebagai warga Negara dengan cara-cara kami sendiri. Masih adapula masyarakat di pedesaan yang memberikan perlakuan oferprotektif kepada keluarga mereka yang harus kehilangan anggota tubuh yang sangat di cintainya.


Tapi, sekarang ini kami tetap melakukan sebuah pergerakan untuk menuju kea rah perubahan yang lebih baik. Pada tulisan ini, saya(penulis) akan mengulas tentang menata perilaku terhadap penyandangcacat secara spesifik dari berbagai aspek seperti mobilitas, pendidikan dan rehabilitasi mental mereka. Masalah aksesibilitas fisik, alhamdulillah sudah terdapat di beberapa tempat, tetapi kami akan terus mengkampanyekan tentang perlunya pemerintah untuk memberikan aksesibilitas tambahan di berbagai tempat.

Kami juga tetap meminta agar masyarakat mau melakukan interaksi dengan kaum penyandangcacat yang bermukim di sekitar rumahnya, serta masyarakat harus mengarahkan mereka ke sekolah-sekolah luar biasa untuk penguatan besik mereka karena jika besik mereka sudah kuat, maka mereka akan di integrasikan di sekolah umum.

Perlakuan terhadap pelajar penyandangcacat yang ber integrasi di sekolah umum, berbicara tentang penyandangcacat yang ber integrasi di sekolah umum dan universitas, tentu kita akan membahas dari mana mereka harus memperoleh perlakuan yang layak, tentu untuk pelajar dan maha siswa serta maha siswi penyandang cacat yang akan di bahas adalah bagai mana guru, penentu kebijakan, serta sesama siswa/maha siswa memberikan perlakuan terhadap kaum penyandang cacat di sekolah atau kampus mereka.

Sebagai siswa, atau maha siswa, perlakuan yang harus di berikan kepada pelajar/maha siswa penyandang cacat adalah menjadi media bagi siswa/maha siswa penyandang cacat untuk proses kelancaran studi mereka di tempat dimana mereka belajar. Begitupun guru/ dosen beserta penentu kebijakan sekolah/ kampus sebagai wujud perlakuan yang mereka berikan adalah melakukan modivikasi terhadap kurikulum di sekolah/ kampus mereka sehingga dapat di ikuti oleh kaum penyandangcacat sesuai dengan kreatifitas guru/dosen di sekolah/di kampus tersebut.

Modivikasi tersebut adalah memberikan pelayanan terhadap penyandangcacat yang tidak berbeda dengan siswa/maha siswa yang lain semisal di sebuah sekolah/kampus jika seorang guru/dosen tidak usa memberikan tugas kepada kaum penyandang cacat di kelas/ruang kuliah, system ini berlaku untuk kaum tunanetra, tetapi bagi tunarungu dan tuna daksa modivikasi system tidak usa di perlakukan, namun guru/dosen harus juga memberikan perlakuan khusus kepada siswa/mahasiswa tunarungu yaitu bagaimana guru/dosen agar instruksinya dapat di ikuti oleh siswa dari kalangan tunarungu seperti menampakkan gerakan-gerakan bibir atau dalam bentuk tulisan.

Sedangkan untuk tuna daksa, Kepsek/rector harus memberikan perlakuan bentuk perlakuan mereka adalah membuat sekolah atau kampus menjadi tempat yang akses untuk mereka dalam melakukan mobilitas khususnya bagi pengguna kursi roda.

Untuk pendidikan di sekolah umum baik negeri maupun swasta, saya akan lebih banyak berbicara tentang perlakuan terhadap siswa/maha siswa di sekolah/kampus mereka karena yang akan di bicarakan adalah mereka yang terhambat secara fisual/tunanetra bukan yang terhambat dari segi mobilitas/tunadaksa.

Yang dimaksud siswa/maha siswa sebagai mediator adalah membantu kaum tunanetra dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka atau membantu kaum tunanetra dalam mengikuti matapelajaran di kelas/ruang kuliah dengan cara membantu membacakan kepada kaum tunanetra apa yang ada di witeboard yang kemudian mereka alihkan ke dalam bentuk Braille atau mereka membantu mengisikan lembar kerja siswa kaum tunanetra di sekolah mereka mereka cukup di bacakan dan akan di jawab oleh mereka dan jawaban dari kaum tunanetra itulah yang di alihkan ke lembar kerja.

Sedangkan perlakuan yang harus diberikan oleh seorang guru terhadap siswanya adalah perlakuan yang sedikit berbeda tetapi tidak menonjolkan perbedaan tersebut, atau seorang guru/dosen harus membuat system pengajaran yang dapat dijangkau oleh pelajar/mahasiswa secara umum dan mahasiswa/pelajar tunanetra yang bersangkutan.

Sedangkan bagi guru eksak seperti Matematika, Fisika, dan Kimia begitu juga dengan guru Ekonomi, dan Akuntansi tidak usa memberikan tugas dalam bentuk perhitungan tetapi cukup dalam bentuk teori saja sebab ketika mengikuti semua itu, kaum tunanetra akan memperoleh hambatan, bukan berarti kami selaku penyandang cacat tidak mampu belajar matematika tetapi kami hanya tidak mampu untuk mengikutinya.

Begitupun dengan masalah jurusan, jika siswa Tunanetra tidak dapat memilih jurusan IPA, karena mereka seperti yang telah saya bahasakan tadi akan berhadapan dengan masalah besar sangat berbeda dengan pada tahun sembilan puluhan, IPA masih terpisah bahkan masih terbagi tiga IPA-1 adalah jurusan yang hanya mempelajari Fisika, sedangkan IPA-2 adalah jurusan yang mempelajari Biologi, dan IPA-3 adalah kimia.

Ketika saat itu, menurut data yang saya temukan, seorang tunanetra masuk jurusan IPA tetapi hanya mempelajari Biologi saja karena Biologi lebih banyak memiliki materi dalam bentuk Teori bukan dalam bentuk perhitungan sehingga tidak menghambat bagi kaum tunanetra saat itu, wal hasil tunanetra tersebut al-hamdulillah sekarang sudah berhasil dan kini telah kembali ke haribaan ilahi, tetapi sekarang tidak lagi seperti itu.

Tetapi kaum tunanetra dapat memilih jurusan seperti IPS dan bahasa, karena mereka tidak terlalu terhambat, kita tahu kalau di jurusan IPS ada pelajaran yang menyajikan materi perhitungan, tetapi tidaklah seperti hambatan yang kita peroleh ketika kita mengambil jurusan IPA karena masih bisa di minimalisir dan masih di ikuti.

Dari masalah diatas, saya lewat tulisan ini, ingin mengatakan bahwa tidak lagi ada alas an bagi pihak sekolah atau universitas yang menolak kaum tunanetra dengan alasan seperti bukan sekolah luar biasa, tidak ada nota dari dinas, dan tidak mampu untuk mengikuti pelajaran. Karena sekarang sudah banyak sekolah yang berhasil menammatkan tunanetra begitu juga dengan universitas sudah banyak yang menammatkan mahasiswa tunanetra dengan tidak terlalu banyak mengalami hambatan beserta menjadi lulusan terbaik. Selain itu, pemerintah juga sekarang telah menggalakkan program inklusi.

Statement diatas, saya keluarkan, sebab saya sangat jengkel ketika saya mengingat cerita teman saya yang di tolak dengan alas an belum ada sebelumnya, bukan sekolah luar biasa dan alas an yang lain dengan ilustrasi seperti ini saat itu, senior saya mencoba untuk mendaftar di sebuah sekolah umum tetapi ditolak dengan alas an belum ada tunanetra yang bersekolah di sekolah tersebut sang pendaftar menjawab Bandung dan Jakarta sudah banyak sekolah umum yang menerima kaum tunanetra.

Yang paling menjengkelkan saat itu, adalah statement dari sang kepala sekolah mengatakan “ kalau begitu kamu sekolah saja di bandung dan Jakarta” mendengar statement tersebut sang pendaftar mengatakan “kalau sekolah menengah umum di bandung dan jakarta sudah bisa menerima tunanetra, kenapa di sekolah bapak tidak mau mencoba menerima saya “ sang kepala sekolah kembali menjawab “bagai mana kalau kamu belajar apakah kamu mampu mengikutinya?” pendaftarpun mengatakan insya allah tidak ada hambatan bagi saya, saya akan mempergunakan tulisan brail dan kalau bapak memberikan tugas-tugas kepada saya saya akan meminta teman saya untuk menulisnya dan apa yang ditulis oleh teman tersebut adalah dari saya” ujar pendaftar dari kalangan tunanetra. Wal hasil, diapun akhirnya di terima dan tammat dengan nilai memuaskan.

Selain menata sikap bagi tunanetra yang sedang menjalani pendidikan di sekolah dan kampus, saya juga akan membahas bagaimana perlakuan yang seharusnya bagi penyandang cacat yang hidup dalam suatu keluarga dan hidup dalam bermasyarakat.

Dalam keluarga, seharusnya tidaklah boleh terlalu ofer protektif atau terlalu melindungi karena terlalu saying dan terlalu khawatir kalau-kalau nanti anak, saudara, istri, atau suaminya yang mengalami kecacatan akan mengalami kecelakaan atau hal-hal lain yang akan menyulitkan dirinya, cukuplah mereka memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya bagi keluarga mereka yang mengalami ke cacatan.

Media atau ruang gerak yang harus diberikan adalah bagaimana membantu mereka dalam melakukan aktifitas, interaksi dengan keluarga dan masyarakat, dan melakukan pekerjaannya disesuaikan dengan jenis kecacatan yang di alaminya.

Bagi kaum tunanetra, mereka dalam memberikan ruang gerak seluas-luasnya adalah memberikan kebutuhan-kebutuhan seperti Tongkat, Reglet, Pen, dan alat-alat yang mampu mempermudah mereka dalam melakukan aktifitas seperti berinteraksi, mengerjakan tugas sekolah, bepergian dan aktifitas lain. Tetapi keluarga juga tidak boleh lepas tangan begitu saja, karena bagai manapun mereka tetap membutuhkan orang lain.

Seperti apakah bentuk keterlibatan mereka maka saya akan memberikan contoh semisal seorang tunanetra yang ingin mengurus KTP, maka peran keluarga adalah membantu untuk menulis formulir yang telah di sediakan yaitu dengan cara menanyakan nama, jenis kelamin, dan lain-lain karena ketika ia menjawab, maka jawaban tersebutlah yang di tuliskan ke dalam bio data tersebut itulah peran keluarga bagi kaum tunanetra.

Hal yang saya jelaskan diatas, tentu juga berlaku bagi penyandang cacat lain seperti TunaDaksa, mereka paling tidak mereka memperoleh media untuk melakukan kegiatan sehari-hari atau dikenal dengan activity dayly seperti materi yang disajikan dalam matakuliah pendidikan luar biasa media yang di siapkan bagi tunadaksa seperti kursi roda, ram atau bidang miring yang digunakan di tempat umum, protese tongkat, dan lain sebagainya untuk menunjang produktivitas mereka dalam bekerja.

Rehabilitasi mental, perlakuan ini diperlukan bagi kaum yang terkena musibah yang mengakibatkan mereka cacat seumur hidup seperti seorang warga yang mengalami kecelakaan dan kakinya harus di amputasi, seorang warga yang terkena sebuah penyakit atau mengalami kecelakaan yaitu berupa benturan yang mengakibatkan syaraf atau retina matanya rusak dan akhirnya tidak dapat melihat, atau penyebab kecacatan lain.

Rehabilitasi ini dapat berupa pencerahan bahwa mereka harus menerima kenyataan yang mereka alami supaya mereka dapat kembali bangkit dan mungkin saja mereka akan lebih produktif dan rehabilitasi ini dapat dilakukan oleh pelaku-pelaku yaitu penyandang cacat sendiri, agamawan, guru pendidikan luar biasa, atau masyarakat yang tahu banyak tentang penyandang cacat karena kondisi mereka sudah tidak mungkin lagi dikembalikan seperti dahulu kala contohnya seorang warga yang terkena kecelakaan dan kakinya di amputasi tidak mungkin akan menemukan kembali kakinya semula.

Rehabilitasi fisik adalah perlakuan yang dilakukan kepada penyandang cacat yang seperti telah saya jelaskan tetapi dengan bentuk yang lain, dan harus dilakukan oleh guru PLB, atau siapa saja yang berkecimpung di dunia kecacatan dan yang dilakukan adalah mengajarkan Braille, mengajarkan penggunaan protese, dan alat Bantu penyandang cacat lainnya. Itulah uraian saya tentang menata perilaku terhadap penyandang cacat, semoga dapat di amalkan dalam kehidupan masyarakat dan penca tidak akan terhambat.

Tidak ada komentar: