Oleh:Sujono sa’id
Pertama, saya mengucapkan syukur kepada Allah karena hari ini, saya sempat untuk menulis kembali tentang sebuah ide. Sebenarnya tentang hal yang satu ini, bukanlah suatu masalah tetapi saya tidak tahu mengapa saya tergila-gila mempermasalahkannya. Saya terinspirasi untuk membuat tulisan ini berawal dari pertemuan saya dengan kanda Yusri salah seorang Senior PC IRM Tallo.
Kita tahu, bahwa IRM pasca mukhtamar di Boyolali telah menghasilkan berbagai keputusan salah satunya adalah perubahan status dari IRM ke IPM, tentu kalau kita menginterpretasi secara terminology istilah dari nama kedua singkatan dari organisasi ini, tentu tujuan, fisi, serta ke anggotaannya harus berubah, mari kita melihat, dan membandingkan kedua singkatan organisasi ini kita mulai dari IPM yaitu ikatan pelajar Muhammadiah.
Ikatan pelajar Muhammadiah jika di artikan maka organisasi ini hanya untuk para pelajar dari kalangan muhammadiah saja seperti siswa siswi dari sekolah Muhammadiah, mahasiswi dan maha siswa yang sedang berkuliah di universitas Muhammadiah, atau seorang pelajar yang kedua orang tuanya adalah warga muhammadiah.
Tetapi, ternyata selama IRM masih bernama IPM pada masa mudah ayah dan ibu kita dahulu dan masa pergerakan para tokoh muhammadiah yang sekarang ini telah memetik buah atas jeripayah mereka seperti kanda Hamsani kudus, Bapak Saiful Saleh, dan tokoh-tokoh muhammadiah terdahulu, tidaklah seperti teori yang saya jelaskan di atas, bahkan orang tua mereka kebanyakan dari kalangan biasa nggak ada yang special, meskipun secara de fakto mereka-mereka adalah pelajar di sekolah Muhammadiah.
Bahkan, ada juga barang satu atau dua orang yang bersekolah di sekolah non muhammadiah pada masa itu tetapi saat itu masih sangat sedikit. Tetapi setelah IPM mengalami masa transisi pada tahun 90, mereka sudah gencar melakukan rekruitmen kader di sekolah-sekolah non muhammadiah khususnya di sekolah-sekolah negeri.
Selama IPM menjadi IRM pada tahun 1990-an, sampai tahun 2007 saya memandang bahwa kedudukan organisasi ini mirip dengan kedudukan organisasi intra sekolah atau osis, karena dari kebijakan sekolah muhammadiah dikatakan bahwa selama siswa dan siswi sekolah Muhammadiah tidak mengikuti pengkaderan paling tidak PK TM-1 atau Pelatihan kader taruna melati 1 yang dilanjutkan dengan follow up dan tidak memperoleh sertifikat atau tanda bukti kalau mereka telah mengikuti pengkaderan mereka tidak akan memperoleh ijazah mereka setelah tammat kelak. Saya sempat menyimpulkan bahwa IRM dikembalikan menjadi IPM, karena para penggagas status ini ingin menyamakan kedudukan mereka dengan organisasi intra sekolah meskipun kalau saya fikir-fikir, osis skalanya kecil sedangkan organisasi yang satu ini skalanya besar.
Saya tiba-tiba menyimpulkan demikian, sebab sayapun meliliki dasar yang menurut saya agaklah kuat yaitu ketika saya mengikuti konferensi pimpinan cabang IRM kota makassar dikeluarkan sebuah rekomendasi yang salah satu item nya adalah menjadikan IRM sebagai organisasi pelajar dikalangan siswa sekolah muhammadiah.
Namun, dari segi fisi dan misi, sejak IPM masih bernama IPM pada tahun 60-an sampai mengalami perubahan ke masa IRM dan akhirnya kembali menjadi IPM tidaklah berubah yaitu menjadikan remaja muslim yang ber ilmu dan ber akhlak mulia dan di ridhoi Allah. Wajarlah kalau IRM atau IPM memiliki fisi yang demikian, sebab saya ingat betul ketika saya masih memiliki kiprah di organisasi tersebut, banyak orang-orang cerdas yang dibentuknya, banyak peribadi-peribadi yang menurut saya adalah manusia-manusia yang berakhlak mulia karena dibentuk oleh misi nya yaitu pengkaderan.
Ketika saya masi aktif di kepengurusan IRM sekitar 4 tahun yang lalu, saya selalu melihat anak-anak IRM di lokasi-lokasi training melakukan aktifitas membaca buku kalau lagi sedang istirahat karena tidak ada administrasi atau konsumsi yang lagi di kerjakan atau nggak ada tugas untuk bawa materi, sejak saya masih aktif di IRM, saya juga sering banyak menemukan warga IRM yang memiliki kemampuan menulis artikel, puisi, atau cerita, bahkan sampai naskah teater sekalipun mampu mereka buat.
Anak-anak IRM yang memiliki kebiasaan seperti ini hanya dimiliki oleh mereka yang tingkatan pengkaderannya lebih tinggi yaitu mulai dari lepasan Taruna melati dua, sampai dengan lepasan pelatihan fasilitator dan pendampingan satu(PFP-1), itulah sehingga ketika saya mengunjungi lokasi training dan masuk ke ruangan fasilitator saya sering menjumpai banyak buku yang bertebaran di meja-meja fasilitator.
Dari hasil temuan saya, saya dapat menyimpulkan bahwa fisi bukanlah sekedar fisi, tetapi sudah terwujud dan memiliki hasil, dari situlah saya menyimpulkan pula bahwa mungkin inilah makna akan sebuah moto IRM yang di ambil dari ayat pertama surah al-qalam yang berbunyi “ nun demi pena dan segala apa yang dituliskannya”, sebab banyak diantara mereka yang berhasil menjadi penulis, menjadi kaum intelek, dan kaum terpandang di mata masyarakat, karena kerajinan membaca dan dari apa yang mereka baca dan mereka simpulkan dari buku-buku bacaan mereka dituangkannya dalam tulisan.
Meskipun saya sudah tidak aktif lagi di IRM yang kini telah kembali ke fitrahnya namun saya tetap menaru hati pada organisasi tersebut, karena di situlah saya terbentuk, disitulah saya belajar, dan disitulah saya mengerti akan arti kehidupan yang keras bak kerikil-kerikil yang begitu tajam, dan melalui IRM yang kini telah menjadi IPM membentuk saya menjadi pemikir-pemikir yang buah pikirannya ditumpahkan melalui tulisan-tulisan sesuai dengan kemampuan, meskipun masih melewati sebuah proses.
Tentang terminology-terminologi tadi saya fikir, itu hanya kekonyolan saya saja bukan karena apa-apa tetapi mungkin tidak tahu kapan waktunya semua akan saya ketahui titik terangnya karena semua itu akan melewati sebuah masa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar