Selasa, 09 September 2008

Potret Budaya masyarakat selayar Oleh: Sujono sa’id

Setiap manusia yang hidup di dunia ini terdiri atas 3 komponen yaitu individu, keluarga, dan masyarakat. Individu adalah seorang manusia, dan dari beberapa individu yang berkumpul disebut dengan keluarga, dan dari beberapa keluarga dinamakan masyarakat. Kehidupan dalam bermasyarakat tidak luput dari berbagai pola hidup dan pola hidup yang sering dilakukan setiap hari dikenal dengan istilah budaya.
Sedangkan defenisi dari budaya sendiri menurut ilmu Sosiologi adalah karya cipta manusia yang berasal dari sebuah karsa, sedangkan ketika kita meninjau dalam kehidupan kita sehari-hari budaya berarti kebiasaan dalam masyarakat yang dilakukan setiap hari, bulan, tahun, dan setiap periode tertentu dalam kehidupan manusia dalam masyarakat di suatu desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai dalam suatu Negara.
Namun jika kita melihat judul diatas, maka saya (penulis) dalam tulisan ini akan menjelaskan gambaran dari budaya masyarakat Selayar baik kebiasaan yang mereka lakukan dalam acara pernikahan, pelaksanaan mauled, dan acara-acara ritual lainnya. Mengapa saya memilih Selayar sebagai objek kajian saya dalam tulisan ini? Apakah sudah tak ada daerah lain yang dapat saya jadikan sebagai objek kajian dalam karya ini?.
Jawaban atas pertanyaan ini adalah Selayar adalah tempat dimana saya dibesarkan, dimana saya dirawat dengan penuh kasih oleh kedua orang tua saya, dan menurut saya budaya yang ada di kabupaten Selayarpun sangat menarik untuk saya kaji dalam tulisan ini, bukan karena daerah lain tidak menarik untuk saya kaji budayanya.
Budaya di daerah lainpun sebenarnya ada yang sangat menarik untuk saya eksplor dalam tulisan yang akan saya susun seperti Toraja, Mandar, dan lain sebagainya, tetapi karena saya belum pernah menyaksikan secara langsung seperti apa budaya di daerah yang telah saya sebutkan diatas, maka saya tidak dapat memberikan seperti apa potret budaya yang ada di daerah tersebut untuk saya eksplor lebih dalam, dan membutuhkan waktu lama untuk diadakan penelusuran untuk dijadikan referensi.
Selain budaya yang telah saya jelaskan di atas, saya juga akan mengemukakan prinsip yang sudah tertanam dalam diri masyarakat Selayar dalam menjalani kehidupan dalam berinteraksi antara individu dan antar kelompok, ketika masyarakat Sulawesi selatan menanamkan prinsip siri napacce ditambah lagi dengan prinsip yang lain yaitu Sipakainga, dan sipaka tau yang artinya saling menghargai antara satu sama lain.
Namun, masyarakat Selayar juga memiliki sebuah prinsip yaitu Sikamaseang yang berarti saling menyayangi antara satu dan yang lain, tanpa memandang status kaya, miskin, memiliki tubuh yang sempurnah, memiliki keterbatasan dari segi fisik, bangsawan dan bukan bangsawan. Selayarpun sejak lama telah dikenal dengan sebuah motto yaitu Selayar mapan mandiri yang terpampang di pintu rumah-rumah penduduk.
Moto selayar mapan mandiri ternyata menurut tinjauan penulis, tidak hanya sekedar motto doang, tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa selayar telah termasuk dalam kategori kabupaten yang mandiri sebab telah begitu banyak perubahan yang terjadi di sana sini antaralain dibangunnya dermaga penyeberangan yang terletak di wilayah Pattumbukang yang akhirnya telah menarik infestor dari Jerman untuk berinfestasi, dan langkah awal yang dilakukan adalah pelestarian terumbu karang.
Sesuai dengan judul diatas, maka saya akan lebih banyak bercerita tentang kebiasaan masyarakat yang telah membudaya dalam kehidupan masyarakat selayar yang sering dilakukan setiap hari, setiap bulan, setiap tahun, dan setiap periode tertentu. Kebiasaan masyarakat selayar yang sering dilakukan dalam keseharian dan sudah menjadi mata pencaharian mereka untuk menghidupi diri serta keluarga mereka adalah bertani, dan menjadi pelaut, serta mengurusi tambak.
Menurut realita yang penulis saksikan, masyarakat Selayar adalah masyarakat yang selalu menanamkan rasa persatuan diantara mereka, serta memanfaatkan potensi kaum muda mudi dalam berbagai momen, dan masyarakat Selayar juga sangat menghargai para pelajar yang study di daerah lain seperti di Makassar sebagai ibu kota propinsi, sehingga banyak dari kalangan pelajar asal selayar yang ketika gagal sebagai seorang pelajar akan sangat merasa malu baik kepada kedua orang tua mereka maupun kepada seluruh masyarakat ditempat ia tinggal karena akan menjadi buah bibir dikalangan keluarga dekat, tetangga, dan berbagai kalangan, apalagi mereka adalah keluarga yang mempunyai stratifikasi yang tinggi dan terpandang dimata masyarakat.
Masih kaitannya dengan kebiasaan yang telah membudaya dalam keseharian masyarakat selayar, maka saya akan sedikit memberikan ilustrasi tentang kebiasaan masyarakat Selayar khususnya masyarakat Desa Loa’ yang merupakan tempat saya di besarkan dalam keseharin mereka sebelum dan sesudah masuknya fasilitas yang sedikit menunjang kelangsungan hidup mereka seperti Air ledeng, Listrik, dan sarana-sarana yang lain yang ternyata sangat membantu mereka dalam berbagai aspek kehidupan.
Masih terrekam dan tercatat dalam benak penulis yang sering penulis sebut dengan istilah thestori of 95, dimana saat itu masyarakat belum maju seperti saat sekarang ini dikarenakan mereka masih menggunakan fasilitas yang belum terlalu bisa untuk memenuhi kebutuhannya secara cepat dan praktis, sebagai contoh kongkrit, maka penulis akan bercerita bagaimana ketika air ledeng, listrik, serta teknologi lain belum hadir dalam kehidupan masyarakat Selayar khususnya masyarakat Desa Loa sat itu.
Saat-saat fasilitas yang telah saya sebutkan diatas belum masuk, masyarakat Desa Loa’ sangat tersiksa, sebab untuk mandi mereka harus mendatangi sumur yang untuk meng aksesnya harus ditempuh melalui perjalanan yang agak sedikit jauh, defenisi jauh disini artinya adalah jauh dari rumah mungkin harus berjalan keluar rumah untuk meng akses sumur yang sering digunakan oleh masyarakat untuk keperluan mandi dan mencuci. Namun, ada hal yang sangat menarik menurut tinjauan penulis dibalik ketersiksaan mereka sebab setiap pagi dan sore, sumur tersebut selalu ramai dikunjungi.
Selain kedatangan masyarakat untuk mandi dan mencuci, mereka juga dapat mempererat tali silaturahim mereka dengan menerapkan tradisi saling menyapa, saling sher tentang informasi dari mulut ke mulut, sehingga informasi yang dipublikasikan sangatlah mudah untuk diperoleh ketika kita membutuhkan informasi dari mereka.
Hal yang saya (penulis) sebutkan diatas juga terjadi ketika listrik belum masuk, sehingga ketika masyarakat datang untuk menonton televise di rumah tetangga mereka juga lebih mudah untuk memper erat jalinan tali silaturrahim, mudah memperoleh informasi dan bersama-sama menikmati tontonan televise yang tentu saja menarik.
Namun, agak berbeda setelah air ledeng dan listrik telah masuk ke daerah sebab menurut tinjauan penulis mudah-mudahan tinjauan ini salah. Menurut penulis, setelah ledeng dan listrik masuk ke desa Loa, semua masyarakat telah mempunyai kamar mandi serta, televisi di rumah masing-masing sehingga mereka sudah terlihat individualistis.
Masih kaitannya dengan kebiasaan masyarakat Desa Loa’, saya akan menceritakan kekaguman saya(penulis) terhadap kebiasaan masyarakat salah satu dusun di Desa Loa’ yang masih bertahan sampai sekarang. Di Desa Loa’, terdiri atas 3 dusun yaitu dusun Barang-barang yang merupakan ibukota dari Desa loa’, dusun Tongke-tongke, serta dusun Pondang yang merupakan tempat saya(penulis) dibesarkan.
Sebuah kebiasaan yang masih membudaya di masyarakat Dusun Barang-barang yang merupakan ibu kota dari Desa Loa’ yang kini masih bertahan yaitu kebiasaan yang dilakukan setiap pagi setelah shalat Subhu sampai jam 7 pagi yaitu duduk-duduk di salah satu dekker yang terletak di pinggiran jalan, di Dekker ini, mereka biasanya menunggu penjual ikan, menunggu kendaraan bagi masyarakat yang ingin melakukan perjalanan ke kota Benteng sebagai ibu kota kabupaten selayar untuk melakukan aktifitas, serta urusan lainnya, serta di Dekker inilah mereka dapat saling shering dan tukar informasi.
Adapun kebiasaan masyarakat Selayar khususnya masyarakat Desa loa’ yang sering dilakukan yaitu pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan yang di selenggarakan dengan cara tradisional yaitu perayaan Maulid, dalam merayakan maulid, mereka melakukan dua macam kegiatan maulid yaitu Ammbelu’ pandang atau biasa juga disebut dengan istilah Maulukkarra’. Maulukkarra’ ini dilakukan dengan sebuah upacara yang pesertanya adalah dari kalangan remaja putra dan remaja putrid, kaum remaja putra membantu agar kaum remaja putrid dapat melaksanakan tugas yang diberikan yaitu mengiris-iris pandan yang telah disiapkan oleh panitia penyelenggara kegiatan maulid.
Selain kaum laki-laki yang masih berusia remaja serta gadis-gadis yang mengambil peran dalam acara tersebut, juga di iringi dengan lagu Barazanji dengan iringan musik Rebab untuk lebih menambah hikmatnya acara tersebut. Mulu’ Tari yaitu kegiatan mauled yang sistimatika acaranya adalah sistimatika yang sudah umum dilakukan yaitu pembacaan al-quran, Laporan panitia, dan Hikmah Maulid oleh pencerama-pencerama yang diundang oleh panitia penyelenggara dalam kegiatan ini.
Budaya yang telah tertanam dalam kebiasaan masyarakat dan dilaksanakan pada periode tertentu seperti Perkawinan, Anrio Rara, a’ Runrung baju dan lain sebagainya, memang kegiatan ini dilakukan setiap tahun oleh masyarakat tetapi disebut dengan kegiatan yang bersifat periodic, karena suatu keluarga melakukan kegiatan pada periode-periode tertentu.
Adat istiadat yang dilakukan ketika mereka melaksanakan pesta pernikahan yaitu Taralu’ yaitu upacara adat yang dilakukan seminggu sebelum pernikahan berlangsung Taralu’ sendiri dilakukan dalam bentuk nyanyian-nyanyian dalam bahasa Selayar. Sedangkan alat yang dipersiapkan untuk pelaksanaan upacara ini adalah Sesajen, dan lilin serta pisang beserta pohonnya. Pisang diletakkan di sisi tempat upacara sedangkan sesajen yang akan dipersembahkan diletakkan tidak jauh dari dimana mereka berkegiatan. Anrio rara dan A’runrung baju adalah upacara pengukuhan terhadap anak perempuan yang telah menginjak usia 17 tahun melalui upacara ini, anak gadis tersebut dikukuhkan sebagai anak yang telah menginjak usia remaja melalui prosesi pemandian yang dikenal dengan anrio rara, serta pemasangan pakaian adat yang dilakukan dalam sebuah prosesi yang dikenal dengan istilah a’runrung baju oleh tokoh adat setempat.
Inilah potret budaya dalam masyarakat Kabupaten selayar yang sempat saya utarakan dalam tulisan ini, semoga dapat menjadi perbandingan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain dan saya ingin budaya ini di kenal di seluruh Indonesia.

1 komentar:

Kaka mengatakan...

luar biasa ya
http://www.asephd.co.cc